Pemantapan Wawasan Kebangsaan

1. Apakah yang dimaksud dengan Pemantapan Wawasan Kebangsaan?

  • Pemantapan adalah proses kegiatan yang mengedepankan upaya-upaya untuk membuat seseorang atau keadaan menjadi mantap, teguh, dan stabil, sehingga dapat berlangsung lebih baik dari keadaan sebelumnya untuk menunjang kehidupan bersama sebagai satu kesatuan bangsa.
  • Wawasan Kebangsaan adalah cara pandang bangsa Indonesia dalam rangka mengelola kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilandasi oleh jati diri bangsa (nation character) dan kesadaran terhadap sistem nasional (national system) yang bersumber dari Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, guna memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa dan negara demi mencapai masyarakat yang aman, adil, makmur, dan sejahtera.

2. Apakah yang dimaksud dengan konsep kebangsaan?

Kebangsaan berasal dari kata dasar bangsa. Pengertian bangsa adalah jiwa yang mengandung kehendak untuk bersatu (Ernest Renan) atau seperti yang ditegaskan oleh Bung Hatta (BPUPKI, 1945) yang secara ringkas disebut sebagai himpunan masyarakat yang memiliki keinsyafan sebagai suatu persekutuan yang tersusun menjadi satu, karena percaya akan nasib dan tujuan. Sedangkan Bung Karno (BPUPKI, 1945) memperluas pengertian “Bangsa” sebagai himpunan masyarakat yang bersama sama tinggal dalam suatu wilayah yang merupakan satu kesatuan geopolitik.

Dari ketiga tokoh tersebut, diperoleh pemahaman bahwa bangsa secara esensial ditentukan oleh 4 kriteria penentu, yaitu: a. Kehendak secara sadar (keinsyafan) untuk bersatu; b. Memiliki tujuan yang sama; c. Memiliki latar belakang sejarah yang sama; d. Wilayah yang sama sebagai satu kesatuan ruang hidup. Empat kriteria penentuan tersebut memperjelas makna bahwa bangsa tidak terbentuk oleh kesamaan budaya, adat istiadat, agama, daerah asal, atau berbagai kesamaan ciri lahiriah semata.

Sebagai konsep, kebangsaan merupakan mekanisme kehidupan kelompok yang beragam, dengan ciri-ciri persaudaraan, kesetaraan, kesetiakawanan, kebersamaan, dan kesediaan berkorban. Konsep kebangsaan harus terus ditumbuhkan pada masyarakat bangsa, dan dikembangkan secara terstruktur yaitu berturut-turut pada tingkat kesadarannya kemudian menjadikannya sebagai semangat, dan mengaktualisasikannya dalam tekad/komitmen kebangsaan.

Ada beberapa faktor penguat dan sangat monumental berdirinya “negara bangsa”, yaitu diawali dengan timbulnya kebangkitan bangsa pada Tahun1908 dan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Kelahiran Boedi Oetomo Tahun 1908 telah menjadi tonggak yang menumbuhkan semangat perjuangan, sekaligus menjadi inspirasi berdirinya berbagai organisasi di seluruh pelosok tanah air, baik yang bersifat kedaerahan, politik, serikat pekerja, keagamaan, kewanitaan, maupun kepemudaan.

Pada gelombang berikutnya, muncul sejumlah organisasi seperti Sarekat Islam, dan berbagai organisasi lainnya. Hal ini mewarnai awal Kebangkitan Nasional, dan mencapai puncaknya pada tahun 1928, dengan bersatunya berbagai kelompok organisasi— khususnya organisasi kepemudaan— untuk mewujudkan suatu gerakan kebangsaan yang sejati, melalui Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa – Indonesia.

Keberadaan suatu bangsa dalam bingkai negara, pada dasarnya dilandasi oleh 3 (tiga) hal mendasar yaitu: ”kesadaran”, ”semangat” dan ”tekad” yang kuat. Kesadaran meliputi dua fenomena realitas yaitu ”kesadaran ruang” dalam arti pemahaman terhadap konfigurasi geografis, dan ”kesadaran isi”, yaitu kemajemukan dan heterogenitas kita sebagai bangsa, dalam aspek kultur, etnik, bahasa dan agama.

Selanjutnya, ”semangat” yang dimaksud adalah spirit para founding fathers dan kita semua untuk mewujudkan fenomena realitas tadi menjadi satu “entity” ….. suatu kesatuan yang utuh. Para pemuda dan pemudi Indonesia bersumpah/berikrar pada tanggal 28 Oktober 1928, menyatakan tekad/komitmen membangun suatu entitas baru yang menyatukan berbagai perbedaan besar diantara mereka, walaupun dalam kondisi lingkungan sosial politik yang tidak mendukung karena masih dalam penjajahan.

Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 baru dapat diwujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia, dan sekarang kita bersyukur telah menikmati hidup sebagai bangsa yang diakui sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia dalam naungan NKRI. Namun, segala yang dapat dinikmati hingga saat ini tidak taken for granted tetapi harus dicapai dengan lika-liku dinamika perjuangan yang berat.

Pernyataan “bahasa” yang satu, yaitu Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu, bukan bahasa Jawa, membuat semua suku termasuk yang kecil-kecil merasa terakomodasi kehadirannya. Begitu pula dengan penggunaan Bangsa Indonesia, yaitu suku besar dan kecil melebur menjadi Bangsa Indonesia. Suku yang besar (Jawa) tidak menunjukkan “besarnya” tetapi menghormati kebanggaan suku kecil-kecil. Bung Karno dalam pidato di BPUPKI, 1 Juni 1945, menegaskan bahwa “Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatra, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat”.

Faktor lainnya adalah kekuatan para Tokoh Pendiri Bangsa ini (founding fathers), yaitu saat menjelang kemerdekaan untuk menyusun suatu dasar negara. Pemeluk agama yang lebih besar (mayoritas Islam) menunjukan jiwa besarnya untuk tidak memaksakan kehendaknya. Bunyi Pembukaan (preambule) yang sekarang ini, bukan seperti yang dikenal sebagai “Piagam Jakarta”. Hal ini juga terjadi karena tokoh-tokoh agama Islam yang dengan kebesaran hati (legowo) menerimanya. Disamping itu, komitmen dari berbagai elemen bangsa ini dan para pemimpinnya dari masa ke masa, Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi yang konsisten berpegang teguh kepada 4 (empat) konsensus dasar, yaitu Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Tinggalkan komentar