The Monument of Harmony (Studi Etnografi Kerukunan Umat Muslim dan Hindu di Klungkung, Bali)

Oleh :

Allan Dwi Pranata2, Made Dwi Pradnyana Putra3, Ayu Putri Kharina4

2,3Alumni Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya
4Alumnus Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya

*Artikel ini adalah ikhtisar dari artikel asliuntuk dimuat di laman resmi Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Klungkung dan telah ditetapkan sebagai “The Best Paper in the Field of Social Sciences Research” dalam Hokkaido Indonesian Student Association Scientific Meeting yang diselenggarakan pada 17 – 18 Maret 2018 di University of Hokkaido, Jepang

*Corresponding email: allandzulkarnaen@gmail.com

Abstract

Multiculturality is a challenge for Indonesia; even a threat to national unity. According to intercultural communication perspective, specifically in the study of conflict, the heterogeneity of a society can be the main contributory factor of conflict. It is caused by the existence of ethnocentrism, primordialism, and extreme fanaticism. However, multiculturality will not always be an obstacle to peace building. Moslem and Hindu socities in Klungkung Bali established a harmonious relationship for a long period of time. This phenomenon is interesting to be studied because of its great potential to produce findings in the form of a harmonious communication model which can be an empirical instrument to prmote cultural flexibility and thus build a peaceful society.This sicientific investigation was conducted by implementing ethnography method. Observation, in-depth interview and literature review wereemployed as data collection techniques, while the data analysis and interpretation process was carried out with Miles and Huberman model. The results showed that the harmony of Moslem and Hindu society can be realized because they have the brotherhood concept of Menyama Braya which is symbolized through the acculturation of cultures magibung, ngejot, and arts. Also, there are two principles in maintaining harmony: Islam Rahmatan lil ‘alamin and Tri Hita Karana. The stakeholders who support to maintain harmony are Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB),Majelis Ulama Indonesia (MUI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), religious figures, and Puri Agung Klungkung.

Keywords:Religious Harmony, Intercultural Communication, Menyama Braya , Islam Rahmatan lil ‘Alamin,Tri Hita Karana

Pendahuluan

Penelitian ini dilatar-belakangi oleh ketertarikan peneliti tentang stabilitas kerukunan antar umat beragama, khususnya umat Hindu (mayoritas pertama) dan umat Muslim (mayoritas kedua), di Klungkung, Bali. Fenomena ini dipandang menjadi fakta empiris yang seharusnya dikaji melalui prosedur ilmiah sehingga dapat menjadi kontribusi dalam pengembangan ilmu serta hal-hal praktis seperti pembuatan kebijakan.

Akulturasi Budaya Hindu dan Islam pada Tradisi Magibung, Ngejot, dan Kesenian

Magibung adalah tradisi makan bersama dalam satu nampan yang di dalamnya berisi nasi sebagai makanan pokoknya serta lauk pauk khas Bali. Tradisi magibung di Kampung Islam Gelgel dan Kusamba biasa dilakukan pada beberapa malam di bulan Ramadhan, khussunya saat khataman Al-quran dan saat sesudah sholat Idul Fitri. Sedangkan dalam tradisi umat Hindu secara umum, magibung biasa dilakukan saat Hari Raya Galungan, Kuningam dan upacara lainnya yang biasanya didahului dengan memasak bersama atau mebat. Tradisi ini tidak menghilangkan identitas Islam, justru memperkuat tradisi Islam yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk makan bersama dalam satu nampan.

Selain tradisi magibung, masyarakat sebagian kampung Islam di Bali juga memiliki tradisi ngejot yang juga berasal dari tradisi Hindu Bali. Secara terminologis, ngejot dalam tradisi Bali dikenal sebagai istilah untuk menyebut ritual mengantarkan atau memberikan bingkisan kepada tetangga sekitar yang pada umumnya berisikan makanan pada saat hari besar keagamaan. Pada saat Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha, masyarakat kampung Islam akan ngejot ke saudara atau tetangga sekitar, baik ke nyame Selam maupun nyame Hindu. Begitu juga dengan umat Hindu yang akan melakukan ngejot ke nyame Hindu dan nyame Selam saat merayakan Galungan dan Kuningan.

Hal menarik lainnya adalah akulturasi dalam dunia seni, misalnya seni arsitektur Bali yang menghiasi bangunan masjid tertua di Bali, yakni Masjid Nurul Huda dan juga makam Habib Ali bin Abubakar Al Hamid yang merupakan tokoh Muslim di Bali. Pada masjid Nurul Huda, seni arsitektur Bali menghiasi gapura, beberapa ornamen bangunan dan pintu masuk ke menara. Selain itu, atap masjid ini tidak berbentuk kubah, melainkan berbentuk meru yang merupakan ciri khas arsitektur Hindu. Begitu juga pada makam Habib Ali bin Abubakar Al Hamid yang dibatasi pagar dan gapura khas Bali.

Konsep Persaudaraan Menyama Braya sebagai Inspirasi Komunikasi Harmoni

Komunikasi harmoni antara umat Muslim dan Hindu di Klungkung ini berpusat pada hubungan persaudaraan yang disebut dengan Menyama Braya. Menyama Braya ini dapat dibuktikan dengan adanya akulturasi kebudayaan yang menghasilkan cultural heritages berupa magibung, ngejot, seni musik, dan seni arsitektur yang menjadi simbol persatuan. Akulturasi ini dapat terjadi karena adanya kompromi antara umat Muslim yang dilandasi oleh prinsip Islam Rahmatan lil ‘Alamin dan umat Hindu yang dilandasi oleh prinsip Tri Hita Karana. Selanjutnya, Menyama Braya antara umat Muslim dan Hindu di Klungkung ini dijaga dengan melibatkan berbagai pihak seperti Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Majelis Ulama Indonesia (MUI), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), tokoh-tokoh agama, dan tentunya Puri Agung Klungkung yang memiliki pengaruh sangat kuat dalam jalinan hubungan dua umat meskipun tidak memiliki legitimasi dalam pemerintahan.

Menyama Braya merupakan konsep persaudaraan yang menganggap orang lain atau suatu komunitas lain (termasuk berbeda kebudayaan dan keyakinan) adalah saudara yang sama seperti saudara kandung atau dianggap satu keluarga (Parimartha, Putra, dan Ririen, 2012). Dalam implementasi konsep menyama braya, umat Muslim disebut sebagai nyama selam (saudara yang beragama Islam) dan umat Hindu disebut sebagai nyama Hindu (saudara yang beragama Hindu). Persaudaraan ini dapat terwujud karena kedua umat memiliki prinsip luhur dalam menjalin komunikasi; yakni Islam Rahmatan lil ‘Alamin yang dimiliki umat Muslim dan Tri Hita Karana yang dimiliki umat Hindu.

Islam Rahmatan lil ‘Alamin berarti Islam adalah kasih sayang untuk seluruh makhluk di jagad raya. Prinsip ini bersumber dari kitab suci umat Muslim, yakni Al-Quran, khususnya dalam surah Al-Anbiya ayat 107. Islam Rahmatan lil ‘Alamin dapat didefinisikan sebagai panduan untuk menjalin hubungan/komunikasi kepada semua makhuk Allah SWT yang didasarkan pada asma Allah – ar-rahman (Yang Maha Pengasih) dan ar-rahim (Yang Maha Penyayang). Islam Rahmatan lil ‘Alamin tidak berarti Islam menganggap semua agama itu sama, tetapi bertoleransi terhadap ke-bhinneka-an dengan tetap menjaga aqidah (ajaran inti Islam tentang Ketuhanan) secara tegas (Kementerian Agama RI, 2012).

Penerapan prinsip ini diperlihatkan umat Islam di Klungkung saat umat Hindu menyambut Hari Raya Nyepi , umat Muslim bersedia meniadakan segala bentuk aktivitas di luar rumah, menutup toko-toko, tidak menggunakan pengeras suara saat adzan dan bahkan bersedia tidak melaksanakan sholat 5 waktu ke masjid; padahal melaksanakan sholat 5 waktu di masjid adalah keutamaan, khususnya bagi umat Muslim laki-laki. Untuk sholat Jumat, pelaksanaannya pernah bersamaan dengan Hari Raya Nyepi pada tahun 2012. Pelaksanaannya pun tetap berjalan dengan lancar dengan tidak menggunakan pengeras suara dan berkoordinasi dengan para pecalang(petugas keamanan adat) Banjar dan Kampung Islam untuk melaksanakan pengawalan. Sikap ini dapat dikategorikan sebagai intercultural communication flexibility; yakni sikap terbuka (open-minded) dan menekankan pada integrasi antar budaya atau komunitas budaya dalam praktik komunikasi sehari-hari (Ting-Toomey, 1999).

Adapun prinsip Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kebahagiaan manusia. Maksudnya ialah manusia akan mencapai kebahagiaan jika ia mampu menjalin hubungan atau komunikasi yang baik dengan Tuhan, manusia dan lingkungan atau alam (Peters dan Wardana, 2013). Implementasi Tri Hita Karana tersebut terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan.Parahyangan adalah hubungan harmoni antara manusia dengan Tuhan; pawongan adalah hubungan harmoni antara manusia dengan sesama manusia; sedangkanPalemahan adalah hubungan harmoni antara manusia dengan lingkungan atau alam.

PelaksanaanTri Hita Karana, khususnya pawongan, diperkuat dengan konsep persaudaraan Tatwam Asi yang menjelaskan bahwa “kamu adalah wujud aku yang lain” (Soviawan, Landrawan, dan Windari, 2013). Konsep ini menjelaskan bahwa seluruh manusia pada dasarnya adalah saudara dan memiliki asal yang sama. Umat Hindu mengamalkan pawongan dengan bertoleransi kepada umat Muslim saat pelaksanaan kegiatan keagamaan. Hal ini dapat dilihat saat umat Hindu memberikan pengamanan saat sholat Jumat, takbir keliling, pelaksanaan sholat Idul Fitri dan Idul Adha dan kegiatan keagmaan lainnya. Pengamanan ini dilaksanakan dengan menugaskan para pecalang. Umat Hindu juga mempersilakan umat Islam untuk melaksanakan qurban pada Hari Raya Idul Adha yang biasanya menggunakan sapi atau lembu. Padahal, dalam ajaran agama Hindu, lembu merupakan hewan yang sangat disucikan karena merupakan kendaraan Dewa Siswa (salah satu Dewa tertinggi dalam Tri Murti) yang disebut sebagai nandi atau nandiswara.

Berdasarkan perspektif Komunikasi Antar Budaya, sapi yang menjadi simbol sakral dalam agama Hindu termasuk pada intermediate level of culture; dan keyakinan bahwa Dewa Siwa sebagai salah satu Dewa bagi umat Hindu yang memiliki kendaraan sapi yang harus dihormati dan dipuja termasuk pada deep level culture. Simbol keagamaan adalah salah satu hal yang sangat penting bagi setiap umat beragama. Pelecehan terhadap simbol agama justru sering menjadi penyebab konflik. Namun, umat Hindu di Klungkung mampu bertoleransi terhadap ajaran agama Islam tentang penyembelihan hewan ternak pada Idul Adha.Sikap ini dapat dikategorikan pada intercultural communication flexibilityyang telah dijelaskan sebelumnya(Ting-Toomey, 1999).

DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Agama RI, 2012, Tafsir Al-Qur’an tematik : Hubungan antar umat beragama, Kementerian Agama RI, Jakarta.
Parimartha, I.G., Putra, I.B.G., and Ririen, L.P.K., 2012, Bulan sabit di pulau dewata, Center for Religious and Cross-cultural Studies UGM, Yogyakarya.
Peters, J. H.& Wardana, W.,2013,Tri hita karana : The spirit of Bali,Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.
Soviawan, I.P., Landrawan, I.W., and Windari, R.A., 2013, Menyama braya dalam kehidupan masyarakat Islam dan Hindu di desa Pegayamanan kecamatan Sukasada kabupaten Buleleng, UNDHIKSA, Singaraja.
Ting-Toomey, S., 1999, Communicating across culture, The Guilford Press, New York

Tinggalkan komentar