Pemkab Klungkung mengusulkan tokoh Puri Klungkung yakni Ida I Dewa Agung Jambe sebagai pahlawan nasional. Langkah ini dilakukan mengingat Ida I Dewa Agung Jambe, tokoh puri yang memimpin perang Puputan Klungkung tahun 1908 dinilai juga memiliki kriteria dan syarat yang lebih lengkap untuk diusulkan sebagai pahlawan nasional.Terkait hal tersebut, Bupati Klungkung I Nyoman Suwirta kembali mengadakan rapat percepatkan usulan Ida Dewa Agung Jambe dengan instansi terkait di ruang rapat Bupati Klungkung, Senin (19/10/2020). Hadir Kepala Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan (Baperlitbang) Kabupaten Klungkung I Wayan Wasta, Kepala Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P3A) Klungkung, I Gusti Agung Gede Putra Mahajaya, Kepala Dinas Kebudayaan Kepemudaan dan Olahraga Kabupaten Klungkung, Ida Bagus Jumpung Gede Oka Wedhana, Badan Perencanaan Penelitian dan Pengemangan Kabupaten Klungkung dan undangan terkait lainnya.
Bupati Suwirta meminta kajian dan bukti dokumentasinya harus segera rampung. Terkait pembangunan patung Ida Dewa Agung Jambe di utara Pemedal Agung Klungkung, aset tanah yang akan dipakai, pihaknya akan segera mengadakan rapat dengan pihak Puri Klungkung, BPKP untuk memutuskan aset tanah yang akan dipakai. Bahkan di dalam rapat Bupati Suwirta langsung berkordinasi ke pusat dengan Kementerian Sosial, Dirjen Dayasos.
Sementara itu, Ketua Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Udayana Prof. Dr. Anak Agung Bagus Wirawan, mengungkapkan segi-segi ideologis dan nilai-nilai moral dari Perang Puputan Klungkung dapat dianggap sebagai modal pembangunan daerah kabupaten dan Provinsi Bali di bidang mental dan spiritual. Dengan penggalian dan menemukan makna dari historiografi perang Puputan Klungkung yaitu perang melawan kolonialisme Belanda diharapkan dapat memberi dimensi baru kepada historigrafi indonesia yang Indonesiasentris.
Lebih lanjut Prof Wirawan memberikan argumentasi sosok Ida Dewa Agung Jambe patut dan pantas diusulkan untuk memperoleh gelar Pahlawan Nasional. Berdasarkan hasil kajian akademik ilmu sejarah, sosok Ida Dewa Agung Jambe adalah seorang raja pejuang yang tidak pemah menyerah dan tetap melawan kekuasaan kolonialisme Belanda sampai titik darah penghabisan, semangat heroik pantang menyerah dan mempertaruhkan jiwa raganya,.
Sosok Ida I Dewa Agung Jambe terkait dengan sejarah Puputan Klungkung yang terjadi pada Selasa 28 April 1908. Berawal dari kisah ekspedisi Belanda yang handal dipimpin Letnan Kolonel Von Schauroth, yang membagi serangan Belanda atas tiga bagian utama dengan sasaran penyerbuan adalah benteng-benteng Kerajaan Klungkung. Hal ini dilakukan Belanda karena benteng Kerajaan Klungkung dipertahankan dengan kuat oleh laskar yang dipersiapkan secara baik dan rapi.
Dari arah timur (Karangasem) kompi angkatan darat Belanda dipimpin Kapten Carpentier Alting yang bermarkas di Desa Lebu dengan kekuatan 110 serdadu, bertugas menyerang benteng Desa Satria hingga berhasil membuka pintu pertahanan Klungkung, sekaligus memberi peluang bagi pasukan bantuan yang bergerak dari Kusamba. Sementara pasukan gabungan Belanda dari arah selatan berhasil menerobos benteng Galiran dan Meregan yang berhadapan dengan laskar Klungkung yang dipimpin Cokorda Gelgel dan Dewa Agung Smarabawa. Laskar Klungkung yang mempertahankan benteng selatan ini berkekuatan lebih dari 1.000 prajurit dengan senjata bedil, tombak, keris, dan diperkuat dengan dua buah meriam.
Dari arah barat (Gianyar), pasukan Belanda dipimpin Kapten Van Nues bermarkas di Tulikup. Pasukan Belanda yang lebih dahulu menyerang benteng barat, bertujuan untuk membendung musuh agar tidak dapat melarikan diri masuk ke wilayah Gianyar dan mencegah bantuan laskar dari kerajaan lain yang dikirimkan secara gelap ke wilayah Klungkung. Pasukan Belanda yang bergerak dari Tulikup ini berhadapan dengan laskar Banjarangkan yang dipimpin oleh Cokorda Gde Oka dan Cokorda Gde Raka. Jatuhnya benteng tepian kota ke tangan pasukan Belanda, berarti istana raja telah terkepung. Para pemimpin laskar termasuk yang setia terhadap Kerajaan Klungkung, mengenakan kain putih sebatas lutut dengan ikat kepala putih, bersenjata keris terhunus. Apabila telah memakai pakaian dan peralatan perang seperti ini, berarti mereka akan berperang habis-habisan (puputan) mempertahankan kehormatan dan kemerdekaan dari tangan penjajah.
Bagi laskar Klungkung, bertahan atau menyerang akibatnya sama saja. Harapan untuk memperoleh kemenangan dalam situasi pertempuran yang tidak imbang dalam senjata adalah sangat kecil. Namun, berdasarkan slogan “tosning satria mautama, satya salunglung sabayantaka”, mewarnai keputusan sikap perang puputan yang diambil oleh sebagaian besar laskar yang mempertahankan istana. Berita gugurnya para pemimpin perang, seperti Cokorda Gelgel dan Dewa Agung Smarabawa, segera disampaikan ke hadapan Dewa Agung Gde Agung (putra mahkota). Walaupun umurnya masih muda (sekitar 12 tahun), beliau pun turun ke medan perang mengikuti ibu suri Dewa Agung Muter. Diiringi oleh para prajurit pamating, gugur bersama di medan perang membela kemerdekaan dan kebenaran.
Mengetahui bahwa putra mahkota dan permaisuri telah gugur, maka Dewa Agung Jambe, maju ke medan laga hingga titik darah penghabisan. Kekalahan tidak dapat dihindari lagi, tetapi mesti dihadapi dengan sikap kesatria sejati. Dewa Agung keluar dari istana Smarapura diikuti oleh seluruh keluarga istana yang masih hidup dan setia, laki-laki, perempuan dan anak-anak, para pembesar kerajaan serta laskar pecalang dan pemating. Semuanya berpakaian perang warna putih dengan keris terhunus dan tombak bertangkai pendek. Iringan-iringan ini disaksikan Belanda sebagai ciri bahwa perang puputan mencapai puncaknya. Berakhir dengan gugurnya laskar Klungkung sebagai pahlawan mempertahankan kedaulatan dan kemerdekaan kerajaannya. #salamgemasanti