Pemantapan Wawasan Kebangsaan

3. Mengapa diperlukan Pemantapan Wawasan Kebangsaan?

Indonesia merdeka sebagai satu kesatuan negara bangsa, memiliki Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan falsafah atau pandangan hidup bangsa, yang terbukti tangguh dan memiliki kesaktian dalam melewati berbagai batu ujian dan dinamika sejarah sistem politik, sejak zaman demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin (Orde Lama), Orde Baru, hingga di Era Reformasi saat ini, sebagaimana yang termaktub dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yaitu:

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa;
  2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab;
  3. Persatuan Indonesia;
  4. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan;
  5. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Di setiap zaman, Pancasila mampu melewati alur dialektika peradaban yang menguji ketangguhannya sebagai dasar filosofis bangsa Indonesia, yang terus berkembang dan tak pernah berhenti di satu titik terminal sejarah.

Bahkan, dewasa ini ketika banyak pertanyaan dilontarkan oleh sebagian khalayak: Di manakah Pancasila kini berada? Pertanyaan ini penting dikemukakan karena sejak era reformasi yang diikuti gelombang demokratisasi di berbagai bidang, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusaran sejarah masa lalu yang tak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika reformasi. Pancasila seolah hilang dari memori kolektif bangsa. Pancasila semakin jarang diucapkan, dikutip, dan dibahas baik dalam konteks kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan maupun kemasyarakatan. Pancasila seperti “tersandar di sebuah lorong sunyi”, justru di tengah denyut kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik.

Mengapa hal itu terjadi? Mengapa seolah-olah kita melupakan Pancasila?

Memasuki Era Reformasi pada Tahun 1998, kita semua merasakan adanya penolakan terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru. Tidak hanya terhadap bentuk kegiatannya, bahkan terhadap istilah atau penamaan kegiatannyapun tidak mau memakainya. Ada anggapan bahwa jika menggunakan istilah yang berlaku pada masa Orde Baru, dikatakan tidak Reformis. Demikian halnya dengan Pancasila, yang pada masa Orde Baru upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila dilakukan dengan cara yang sistematis, terstruktur dan masif. Penafsiran yang demikian ketat dan pengejawantahan yang justru memberi kesan membelenggu dan menakutkan bagi pihakpihak yang ber-seberangan dengan Pemerintah, telah menyebabkan trauma yang cukup dalam. Hal tersebut menjadi salah satu sebab Pancasila dianggap hanya sekedar “simbol, instrumen politik dan alat kekuasaan”, sehingga cenderung ditinggalkan.

Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tertentu, merupakan kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau identik dengan kekuasaan pemerintahan pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pondasi bangunan arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan selalu menyertai perjalanannya.

Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi menjadi masa lalu, akan tetapi nilai-nilai Pancasila, yang menjiwai, menjadi landasan, sekaligus pandangan hidup, akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian sebuah orde pemerintahan. Kita menyadari bahwa tantangan akan selalu ada, dan hanya mungkin dihadapi dengan kerja keras segenap warga bangsa secara terintegrasi. Oleh karenanya, kita perlu secara terus menerus membangun Pemantapan Wawasan Kebangsaan. Proses ini merupakan Unfinish Agenda, suatu proses yang kontiniu dan berkelanjutan dalam menghadapi tantangan globalisasi. Oleh karena itu, semakin penting agar para penyelenggara negara di pusat dan daerah, serta masyarakat wajib berpegang teguh melaksanakan 4 (empat) konsensus dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

4. Apa manfaat Pemantapan Wawasan Kebangsaan bagi masyarakat maupun para elite politik?

Pemantapan Wawasan Kebangsaan yang berintikan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika merupakan pedoman dan sumber inspirasi, motivasi, dan kreativitas yang mengarahkan proses penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menuju masa depan yang dicita-citakan bersama bangsa Indonesia. Melalui Pemantapan Wawasan kebangsaan kita dapat menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Selanjutnya dengan kerja keras seluruh komponen bangsa dalam membangun bangsa yang ditopang prasyarat stabilitas politik dan keamanan yang dinamis, serta supremasi hukum yang adil, maka akan terwujud tujuan nasional, yaitu Indonesia yang aman dan sejahtera, sebagaimana termaktub dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Dalam UU Nomor 2 tahun 2008 Jo UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, disebutkan bahwa kaderisasi politik termasuk para elit politik harus memuat Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika (4 Konsensus Dasar) yang merupakan basis fundamental yang memuat sejarah, kekinian, dan format Indonesia ke depannya. Oleh karena itu, para kader di partai politik wajib menghayati 4 konsensus tersebut dalam pola pemikiran dan tindakannya. Pemantapan wawasan kebangsaan diharapkan akan mampu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa sebagai prasyarat untuk membangun bangsa, dan pada akhirnya memperkuat ketahanan nasional yang meliputi seluruh aspek Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan dan Keamanan (IPOLEKSOSBUDHANKAM).

Tinggalkan komentar